EconomyNasional

Sonny T. Danaparamita Soroti Urgensi Revisi UU Demi Kedaulatan Pangan Nasional

SuaraTimurDaily — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah mengupayakan langkah serius untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional sebagai bagian dari rencana besar yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Political will pemerintah yang tercermin dalam berbagai program konkret ini mendapat sorotan positif dari berbagai pihak, termasuk legislatif.

“Kalau bicara urgensinya, tentu soal pangan adalah soal yang penting dan mendesak. Sebagaimana kata Ir. Soekarno sang proklamator bangsa bahwa persoalan pangan adalah persoalan mati hidupnya sebuah bangsa”, tegas Sonny T. Danaparamita, anggota Komisi IV DPR RI sekaligus alumni GMNI.

Meski demikian, tantangan dalam sektor pangan nasional masih cukup besar. Berdasarkan dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, produksi pangan Indonesia dinilai belum optimal. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk mengandalkan impor guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Data tahun 2024 mencatat defisit produksi beras sebesar 367.595 ton. Sementara kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang mencapai 3 juta ton mendorong angka impor hingga 4,3 juta ton, dan diperkirakan bisa meningkat hingga 6,1 juta ton pada tahun 2029.

Baca Juga: Sonny T. Danaparamita Dorong Pemanfaatan Lahan Negara yang Belum Digunakan bagi Peternak Lokal

Defisit juga terjadi pada komoditas daging sapi yang mencapai 288.261 ton, dengan sekitar 95 persen kekurangannya dipenuhi lewat impor. Kondisi serupa terjadi pada susu sapi dan sejumlah bahan pangan strategis lainnya.

“Berbicara tentang impor, saat ini kebijakan impor pangan kita memang tidak konsisten. Dan harus diakui, salah satu penyebabnya juga karena ada pasal (yakni pasal 14 dan pasal 36) dalam undang-undang tentang pangan kita yang berpotensi menyebabkan terjadinya hal itu. Dan akibatnya, kita seringkali mengalami fluktuasi harga pangan yang susah dikendalikan, menimbulkan ketidakpastian iklim usaha, dan yang paling memprihatinkan adalah berdampak buruk bagi petani”, ujar Sonny.

Merespons tantangan tersebut, Komisi IV DPR RI kini tengah membentuk Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sonny menegaskan bahwa Fraksi PDI Perjuangan berada di barisan terdepan dalam upaya pembenahan pengelolaan pangan nasional.

“Untuk urusan pengelolaan pangan yang lebih baik, tentu Fraksi PDI Perjuangan menjadi bagian terdepan dalam membenahinya. Selain itu, kami juga sangat ingin Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris ini semua petaninya dapat hidup sejahtera. Untuk itu, poksi kami akan secermat mungkin dalam proses revisi undang-undang pangan ini”, tandasnya.

Sonny juga mengungkap bahwa fraksinya telah menyusun berbagai catatan penting dalam proses revisi tersebut, mencakup aspek produksi, mutu, cadangan, kelembagaan, hingga keanekaragaman pangan.

Baca Juga: Sonny T. Danaparamita Serap Aspirasi Petani, Tekankan Bulog Harus Berpihak pada Petani

“Yang tidak boleh dilupakan juga adalah soal keanekaragaman pangan kita. Selain sebagai negara dengan penduduk yang majemuk, bangsa ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Dan keanekaragaman ini pengelolaannya masih jauh dari kata optimal. Kita seringkali mensimplifikasi masalah kebutuhan pangan kita hanya dengan memikirkan produksi beras semata. Kita sejak kecil bahkan tidak pernah dikenalkan tanaman pendamping beras seperti Sukun, Sorgum, Jali-Jali, Ubi, Talas, Pisang, dan lain sebagainya. Maka paradigma kita harus diubah. Di BRIN kita memiliki banyak pakar dan ahli yang telah menghasilkan banyak riset yang terkait dengan pangan. Kita dapat mengajak mereka semua”, kata Sonny.

Lebih lanjut, Sonny menekankan pentingnya pengaturan terhadap tren konsumsi Pangan Ultra-Proses (PUP), yang menurutnya belum tersentuh dalam UU Pangan saat ini.
“Menurut data Nielsen Retail Audit 2022, penjualan produk makanan ultra-proses seperti mie instan, minuman manis, dan camilan kemasan terus meningkat dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 6-8%. Saya mencemaskan dampak dari konsumsi makanan ultra proses. Kalau ini tidak kita tangani, selain dampak buruk bagi kesehatan masyarakat sudah barang tentu juga akan menjadi beban biaya bagi negara, mengingat beban biaya penanganan yang diklaimkan oleh BPJS saat ini sudah sangat besar sekali. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan tentang Pangan Ultra-Proses ini juga menjadi hal yang urgen juga dalam revisi nanti”, tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *